Rabu, 04 Maret 2015

Hutang Yang Membawa Hikmah







Minggu, 29 November 2009………..

Sore itu sekitar jam setengah tiga siang, saya berniat melaksanakan azam yang sudah dari dulu saya niatkan. Membayar utang (hehehe…bukan azam ini mah, tp kewajiban), Utang yang ga tw alias sudah lupa jumlahnya pastinya berapa, tapi besarnya sekitar 300rb-400rb kayaknya.

Hari itu memang masih dalam suasana Idul Adha yang jatuh pd hari Jum’at  dan  keluarga besar saya pun punya acara liburan pasca lebaran haji. Dimana kah acara itu….? Dimana lagi klo bukan di pantai (pantai forever lah…..Ibu2 emang apatis). Waktu menunjukan pukul 14.20 WIB, sang keluarga besar bersiap-siap menjalani kegiatan rutin tahunan ini, kemudian turunlah titah, saya segera dipanggil untuk segera mempersiapkan segala sesuatunya.

“sa…sa….sa…, buruan lagi sa!!! Ikut gak lu ke laut?” kata kakakku. “euy…bangun lagi lah…nanti pas berangkat baru grabak  grubuk….!!” tambahnya. Saat itu saya sedang tertidur lelap di kamar di lantai 2 ditemani angin yang lumayan kencang yang masuk dari jendela dan pintu teras yang sengaja saya buka lebar-lebar.

Karena saya sudah punya niat untuk segera menyelesaikan kewajiban itu, saya pun menolak ajakan keluarga. Karena memang azam ini sudah saya rencanakan dari dahulu, dari sewaktu duduk dibangku kuliah. Nah, mumpung lg di Lampung dan besok sudah harus balik lg ke Jakarta, saya berpikir utang yang tertunda selama lebih dari 4 tahun ini harus segera dibayar sebelum nafas berhenti berhembus..(kok lama amat utangnya 4 tahun lebih?...hehehe..utangnya 300rb bang!!!  jaman SMA dulu dr mana uang segitu...baru kebayar pas kerja..)

Singkat cerita, keluarga saya akhirnya berangkat menunaikan ritual tahunannya di pantai, makan-makan, mandi air laut, dan nyebrang pulau dengan perahu. Di Kota kami, pantai adalah idola bukan hanya bagi warga lokal, bahkan “musafir” dari luar kota seperti jakarta dan palembang pun ikut berpartisipasi dalam acara ini, terutama saat libur panjang datang. Maklumlah, pantai teluk lampung memang cukup indah, pasirnya putih dan karena posisinya yang berada di teluk lampung membuatnya relatif lebih aman untuk keluarga.




Tiiiin, suara klakson mobil pertanda keluarga sudah berangkat. Saya bergegas keluar untuk menutup gerbang di sela persiapan menemui si Mpunya Piutang, Erwin namanya, tp saya memanggilnya Abi Erwin, karena dulunya beliau guru ngaji di TPA. 

Ketika saya menutup gerbang, perasaan cemas pun menghampiri. Langit yang gelap disertai angin kencang berhembus dari arah utara dimana Abi Erwin beserta istri dan anaknya yang masih kecil tinggal.

Sambil menunggu Adzan Ashar saya pun mempersiapkan uang dan selembar amplop untuk diberikan ke Abi Erwin. “Allohu akbar allohu akbar….”, adzan berkumandang dan saya pun bergegas pergi memenuhi panggilan Dzat yang roh semua makhluk berada dalam genggaman-Nya itu. Setelah kembali ke rumah, saya lalu berganti baju dan segera pergi ke rumah saudara untuk menitipkan kunci rumah. Nah, ketika saya sedang menitipkan kunci, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. “Yah…. beneran ujan (hujan) nih…!!” ucap saya dengan  lemas.

Akhirnya saya hanya bisa menunggu berhentinya  hujan. Sempat terlintas dipikiran saya untuk membatalakan niat ini dan membayarnya lain waktu (klo pas lg libur panjang lg…hehehe). “sa…ini awet kayaknya ujannya….soalnya masih gelap aj” ujar saudara saya. “Iya…gapapa lah ditunggu aj, klo masih deras sampe malem ya ga jadi berangkatnya…”, sahut saya. Hujan sore itu memang sangat deras dan rasanya tidak akan reda dalam waktu dekat.  Tapi entah kenapa saya merasa yakin bahwa hari itu saya akan bertemu abi Erwin.

Sambil menunggu hujan reda dengan ditemani segelas kacang hijau hangat dan obrolan ringan bersama saudara, tak terasa akhirnya rizki terbesar ini pun mulai mereda dan hanya meninggalkan sedikit rintiknya. Alhamdulillah, akhirnya reda juga sang hujan dan saya pun bergegas pergi. Waktu itu sudah jam 5 sore.

Sesampainya di depan  rumah abi Erwin, tiba-tiba perasaan haru saya muncul ketika melihat rumahnya. Rumah yang kecil, sederhana,tapi bersih dan rapi ini adalah rumah dimana Abi Erwin tinggal bersama istri dan satu anaknya yang masih sangat kecil.

Rumahnya berada satu komplek dengan masjid dan bangunan TPA. Sedangkan komplek masjidnya sendiri berada di sebuah perumahan namun bukan bagian dari perumahan itu. Masjid itu dibangunnya dengan koceknya sendiri dibantu dana dr beberapa temannya. Komplek masjidnya berdiri di sebidang tanah yang lumayan luas untuk sebuah masjid yang dibangun dari dana yang sebagian besarnya berasal dari seorang penjual buku dan majalah.

Ya, Abi adalah pemilik toko buku dan majalah islam. Nah, sewaktu saya masih duduk di bangku SMP, hampir sering membeli majalah-majalah dari beliau. Kenapa hampir sering membeli bukan sering membeli? Karena sewaktu SMP, alokasi budget untuk membeli majalah islam sangat terbatas. Jadi saya akali, beli nya 1 majalah tp saya baca dulu 20an majalah dan buku. Untungnya, Abi Erwin tak pernah komplain, malah kalau ada majalah atau ada buku baru, beliau  tak sungkan untuk menyuruh membacanya bahkan membawa pulang buku atau majalah tersebut.

Karena statusnya buku dan majalah pinjamannya itulah, saya jadi sering membaca banyak buku dan majalah islam, hampir semua yang dipinjam saya baca dengan cepat. Maklum karena baarang  pinjaman tidak boleh lama-lama dipegang, meski Abi Erwin tidak pernah mempermasalahkan.

Perlahan saya langkahkan kaki memasuki komplek masjid menuju rumahnya yang berada di belakang masjid. Terlihat  Abi Erwin yang sedang membersihkan sisa qurban sendirian dengan bajunya yang sudah terperecik darah qurban. Kangan kiri pria berkacamata berjanggut ini memegang tulang kaki sapi sedang tangan  yang kanan tak memegang apa-apa.

“Assalamualaikum….bi…!!”,ucapku dan beliau pun menjawab salamku disertai tanya: ”eh, kapan nyampe?.....”, “Jum’at..bi….”, jawab ku. Kami pun mengobrol bersama bercerita banyak hal mulai dari perkembangan kota ini, tentang penjajian, tentang kota Jakarta, bisnis dan cerita masa lalu sewaktu saya masih bersekolah dan Abi Erwin belum pindah ke komplek masjid. 

Dahulu rumah saya dan rumah beliau berada dalam satu kelurahan yang jaraknya ga jauh. Saya mengenalnya sejak SMP dan hampir setiap hari bertemu di masjid. Beliau sering membawa majalah maupun buku-buku  islam untuk dibaca bersama oleh saya dan teman2 seanggkatan dahulu. 

Dahulu beliau tinggal bersama ibunya di sebuah rumah besar di pinggir jalan raya (nih rumah deket Hotel Indra Puri…), namun sejak setelah 2 tahun saya meneruskan kuliah di Jakarta, Abi Erwin pindah ke tempat yang sekarang saya datangi ini.

Rumah keluarganya itu dijual dengan harga miliaran, karena letaknya yang sangat startegis ditambah tanahnya yang sangat luas membuat harganya menjulang setinggi langit. Katanya, hasil penjualan rumahnya dibagikan kepada anggota keluarga besarnya.

Dengan bekal uang jatahnya itulah abi Erwin membangun masjid, gedung TPA, dan rumahnya sekarang. Kini jarak dari rumah saya ke rumah beliau mungkin sekitar 15 km (setengah jam lah naek angkot 2 kali)

Saat itu saya berfikir, mengapa seorang yang mampu untuk hidup mewah namun malah memilih kehidupannya yang kalo boleh dikatakan sangat sederhana?. 

Dia seorang yang dibesarkan dengan serba kecukupan, beliau juga seorang anak dari keluarga yang kaya. Tanahnya banyak dan luas,  dan kehidupan kakak adiknya lebih dari cukup, sudah bawa mobil semua kecuali dia yang Cuma bawa motor merk Hokaido. Tapi seakan tidak peduli dengan kemewahan dunia, ia gunakan hartanya untuk membangun masjid dan ruang TPA, sedang ia hanya menyisakan sebuah rumah yang kecil dibelakangnya serta sebuah sepeda motor. 

Ia pernah menjual buku dan majalah serta pakaian islam disebuah toko miliknya. Namun dengan banyaknya pengeluaran yang digunakan untuk masjid dan TPA di samping pengeluaran untuk kehidupan keluarganya sehari-hari, ia akhirnya menjual toko miliknya dan memindahkannya ke rumahnya. Jadilah rumah beliau yang kecil semakin sesak.

Setelah ngobrol sekian lama, akhirnya saya utarakan maksud saya mengunjunginya saat itu. “bi, gini saya ini mau bayar buku-buku dulu yang pernah dipinjem… bukunya masih ada sama saya, tapi sudah jelek… gimana kalau saya ganti  aja (dibeli_pen)? kata saya. “Oh iy gapapa, emangnya berapa?” tanya abi erwin. “Jumlah pastinya saya ga tau bi, tapi itungan saya jumlahnya ga akan lebih dari uang itu, sisanya kalo ada ya buat abi lah.” timpal saya menjawab pertanyaan abi erwin.

Lalu dibukanya amplop… kemudian dia terdiam sambil menatap saya… “banyak amat? Bener ini buat abi..?” katanya heran. “Jazakalloh khair” lanjutnya.

Uang yang saya berikan sebenarnya tidak sepadan dengan ilmu yang saya dapat cuma-cuma darinya dahulu. 

Tapi tahukah, ketika menerima uang itu raut wajahnya berubah… senyumnya melebar, seolah mendapatkan rizki yang besar dan jelas terlihat bahwa ia membutuhkan uang itu.

Ya Allah, bagaimana bisa?

Bagaimana bisa setiap harinya ia berjualan buku, majalah, dan herbal untuk menutupi kebutuhan keluarganya yang serba pas-pasan, sedang harta warisan orangtuanya dia berikan begitu saja untuk bangun masjid?

Uang dalam amplop itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan harta yang dia keluarkan untuk masjid dan bangunan TPA… 

Saat itu mengingatkan saya pada obrolan-obrolan kami  dahulu dengannya. Sebelum pindah, kami hampir selalu bertemu setiap maghrib, isya, dan subuh di masjid. Setiap sholat saya bersama sahabat lainnya selalu berdiskusi, tanya jawab atau mendengarkannya berbicara masalah dien termasuk menyimak setiap nasehatnya ihwal kehidupan dunia.

Hidup itu hanya sementara...

kenikmatannya pun hanya sebentar....

dahulu kita seorang anak kecil yang lugu hanya bermain-main, kini kita  dewasa, dan hari esok kita sudah tua...kemudian kematian menjemput

selesailah perjalanan kehidupan kita,

tengoklah dahulu..

tengoklah saat-saat kecil kita,  lalu berapa umur kita sekarang? 

hitunglah, berapa tahun telah berlalu? dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu....

betapa cepatnya masa ini berlalu...

ketahuilah bahwa dua puluh tahun lagi, rambut kita sudah memutih, kulit kita keriput dan sebagian kerabat dan sahabat sudah mendahului dijemput...

kemana kita setelah kematian?

Hari ini, saya mendapat ibroh yang sangat besar… mendapat pelajaran berharga tentang kehidupan. Hidup itu tidak melulu masalah uang, dan kebahagiaan tidak selalu ada pada harta.
Manusia tidak diciptakan untuk berlomba lomba mencari harta, padahal di sana ada kehidupan yang pasti dilewati.

 Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.

(Al Mulk 2)

Setelah selesai sholat maghrib, saya segera pamit pulang meninggalkan Abi dan keluarganya yang begitu sederhana namun terlihat bahagia…

Alhamdulillah perjalanan membayar hutang ternyata menjadi pelajaran menakjubkan… Semoga Allah memberikan barakah kepadanya…


ditulis pad November 2009,
dan baru diposkan saat ini  

penulis,             

Tidak ada komentar :

Posting Komentar