Minggu, 29 November 2009………..
Sore itu sekitar jam setengah tiga siang, saya berniat melaksanakan azam yang sudah
dari dulu saya niatkan. Membayar utang (hehehe…bukan azam ini mah, tp
kewajiban), Utang yang ga tw alias sudah lupa jumlahnya pastinya berapa, tapi
besarnya sekitar 300rb-400rb kayaknya.
Hari itu memang masih dalam suasana Idul Adha yang jatuh pd
hari Jum’at dan keluarga besar saya pun punya acara liburan
pasca lebaran haji. Dimana kah acara itu….? Dimana lagi klo bukan di pantai
(pantai forever lah…..Ibu2 emang apatis). Waktu menunjukan pukul 14.20 WIB, sang
keluarga besar bersiap-siap menjalani kegiatan rutin tahunan ini, kemudian
turunlah titah, saya segera dipanggil untuk segera mempersiapkan segala
sesuatunya.
“sa…sa….sa…, buruan lagi sa!!! Ikut gak lu ke laut?” kata
kakakku. “euy…bangun lagi lah…nanti pas berangkat baru grabak grubuk….!!” tambahnya. Saat itu saya sedang
tertidur lelap di kamar di lantai 2 ditemani angin yang lumayan kencang yang
masuk dari jendela dan pintu teras yang sengaja saya buka lebar-lebar.
Karena saya sudah punya niat untuk segera menyelesaikan
kewajiban itu, saya pun menolak ajakan keluarga. Karena memang azam ini sudah
saya rencanakan dari dahulu, dari sewaktu duduk dibangku kuliah. Nah, mumpung
lg di Lampung dan besok sudah harus balik lg ke Jakarta, saya berpikir utang
yang tertunda selama lebih dari 4 tahun ini harus segera dibayar sebelum nafas
berhenti berhembus..(kok lama amat utangnya 4 tahun lebih?...hehehe..utangnya 300rb
bang!!! jaman SMA dulu dr mana uang
segitu...baru kebayar pas kerja..)
Singkat cerita, keluarga saya akhirnya berangkat menunaikan ritual
tahunannya di pantai, makan-makan, mandi air laut, dan nyebrang pulau dengan
perahu. Di Kota kami, pantai adalah idola bukan hanya bagi warga lokal, bahkan “musafir”
dari luar kota seperti jakarta dan palembang pun ikut berpartisipasi dalam
acara ini, terutama saat libur panjang datang. Maklumlah, pantai teluk lampung
memang cukup indah, pasirnya putih dan karena posisinya yang berada di teluk
lampung membuatnya relatif lebih aman untuk keluarga.
Tiiiin, suara klakson mobil pertanda keluarga sudah berangkat.
Saya bergegas keluar untuk menutup gerbang di sela persiapan menemui si Mpunya
Piutang, Erwin namanya, tp saya memanggilnya Abi Erwin, karena dulunya beliau
guru ngaji di TPA.
Ketika saya menutup gerbang, perasaan cemas pun menghampiri.
Langit yang gelap disertai angin kencang berhembus dari arah utara dimana Abi
Erwin beserta istri dan anaknya yang masih kecil tinggal.
Sambil menunggu Adzan Ashar saya pun mempersiapkan uang dan
selembar amplop untuk diberikan ke Abi Erwin. “Allohu akbar allohu akbar….”,
adzan berkumandang dan saya pun bergegas pergi memenuhi panggilan Dzat yang roh
semua makhluk berada dalam genggaman-Nya itu. Setelah kembali ke rumah, saya
lalu berganti baju dan segera pergi ke rumah saudara untuk menitipkan kunci
rumah. Nah, ketika saya sedang menitipkan kunci, tiba-tiba hujan turun dengan
derasnya. “Yah…. beneran ujan (hujan) nih…!!” ucap saya dengan lemas.
Akhirnya saya hanya bisa menunggu berhentinya hujan. Sempat terlintas dipikiran saya untuk
membatalakan niat ini dan membayarnya lain waktu (klo pas lg libur panjang
lg…hehehe). “sa…ini awet kayaknya ujannya….soalnya masih gelap aj” ujar saudara
saya. “Iya…gapapa lah ditunggu aj, klo masih deras sampe malem ya ga jadi
berangkatnya…”, sahut saya. Hujan sore itu memang sangat deras dan rasanya
tidak akan reda dalam waktu dekat. Tapi
entah kenapa saya merasa yakin bahwa hari itu saya akan bertemu abi Erwin.
Sambil menunggu hujan reda dengan ditemani segelas kacang
hijau hangat dan obrolan ringan bersama saudara, tak terasa akhirnya rizki
terbesar ini pun mulai mereda dan hanya meninggalkan sedikit rintiknya.
Alhamdulillah, akhirnya reda juga sang hujan dan saya pun bergegas pergi. Waktu
itu sudah jam 5 sore.
Sesampainya di depan
rumah abi Erwin, tiba-tiba perasaan haru saya muncul ketika melihat
rumahnya. Rumah yang kecil, sederhana,tapi bersih dan rapi ini adalah rumah
dimana Abi Erwin tinggal bersama istri dan satu anaknya yang masih sangat
kecil.
Rumahnya berada satu komplek dengan masjid dan bangunan TPA.
Sedangkan komplek masjidnya sendiri berada di sebuah perumahan namun bukan
bagian dari perumahan itu. Masjid itu dibangunnya dengan koceknya sendiri
dibantu dana dr beberapa temannya. Komplek masjidnya berdiri di sebidang tanah
yang lumayan luas untuk sebuah masjid yang dibangun dari dana yang sebagian
besarnya berasal dari seorang penjual buku dan majalah.
Ya, Abi adalah pemilik toko buku dan majalah islam. Nah,
sewaktu saya masih duduk di bangku SMP, hampir sering membeli majalah-majalah
dari beliau. Kenapa hampir sering membeli bukan sering membeli? Karena sewaktu
SMP, alokasi budget untuk membeli majalah islam sangat terbatas. Jadi saya
akali, beli nya 1 majalah tp saya baca dulu 20an majalah dan buku. Untungnya, Abi
Erwin tak pernah komplain, malah kalau ada majalah atau ada buku baru, beliau tak sungkan untuk menyuruh membacanya bahkan
membawa pulang buku atau majalah tersebut.
Karena statusnya buku dan majalah pinjamannya itulah, saya
jadi sering membaca banyak buku dan majalah islam, hampir semua yang dipinjam
saya baca dengan cepat. Maklum karena baarang
pinjaman tidak boleh lama-lama dipegang, meski Abi Erwin tidak pernah
mempermasalahkan.
Perlahan saya langkahkan kaki memasuki komplek masjid menuju
rumahnya yang berada di belakang masjid. Terlihat Abi Erwin yang sedang membersihkan sisa
qurban sendirian dengan bajunya yang sudah terperecik darah qurban. Kangan kiri
pria berkacamata berjanggut ini memegang tulang kaki sapi sedang tangan yang kanan tak memegang apa-apa.
“Assalamualaikum….bi…!!”,ucapku dan beliau pun menjawab
salamku disertai tanya: ”eh, kapan nyampe?.....”, “Jum’at..bi….”, jawab ku.
Kami pun mengobrol bersama bercerita banyak hal mulai dari perkembangan kota
ini, tentang penjajian, tentang kota Jakarta, bisnis dan cerita masa lalu
sewaktu saya masih bersekolah dan Abi Erwin belum pindah ke komplek masjid.
Dahulu rumah saya dan rumah beliau berada dalam satu
kelurahan yang jaraknya ga jauh. Saya mengenalnya sejak SMP dan hampir setiap
hari bertemu di masjid. Beliau sering membawa majalah maupun buku-buku islam untuk dibaca bersama oleh saya dan
teman2 seanggkatan dahulu.
Dahulu beliau tinggal bersama ibunya di sebuah rumah besar
di pinggir jalan raya (nih rumah deket Hotel Indra Puri…), namun sejak setelah
2 tahun saya meneruskan kuliah di Jakarta, Abi Erwin pindah ke tempat yang
sekarang saya datangi ini.
Rumah keluarganya itu dijual dengan harga miliaran, karena
letaknya yang sangat startegis ditambah tanahnya yang sangat luas membuat
harganya menjulang setinggi langit. Katanya, hasil penjualan rumahnya dibagikan
kepada anggota keluarga besarnya.
Dengan bekal uang jatahnya itulah abi Erwin membangun masjid,
gedung TPA, dan rumahnya sekarang. Kini jarak dari rumah saya ke rumah beliau
mungkin sekitar 15 km (setengah jam lah naek angkot 2 kali)
Saat itu saya berfikir, mengapa
seorang yang mampu untuk hidup mewah namun malah memilih kehidupannya yang kalo
boleh dikatakan sangat sederhana?.
Dia seorang yang dibesarkan dengan serba kecukupan, beliau
juga seorang anak dari keluarga yang kaya. Tanahnya banyak dan luas, dan kehidupan kakak adiknya lebih dari cukup,
sudah bawa mobil semua kecuali dia yang Cuma bawa motor merk Hokaido. Tapi
seakan tidak peduli dengan kemewahan dunia, ia gunakan hartanya untuk membangun
masjid dan ruang TPA, sedang ia hanya menyisakan sebuah rumah yang kecil
dibelakangnya serta sebuah sepeda motor.
Ia pernah menjual buku dan majalah serta pakaian islam
disebuah toko miliknya. Namun dengan banyaknya pengeluaran yang digunakan untuk
masjid dan TPA di samping pengeluaran untuk kehidupan keluarganya sehari-hari, ia
akhirnya menjual toko miliknya dan memindahkannya ke rumahnya. Jadilah rumah
beliau yang kecil semakin sesak.
Setelah ngobrol sekian lama, akhirnya saya utarakan maksud
saya mengunjunginya saat itu. “bi, gini saya
ini mau bayar buku-buku dulu yang pernah dipinjem… bukunya masih ada sama saya,
tapi sudah jelek… gimana kalau saya ganti aja (dibeli_pen)? kata saya. “Oh iy gapapa,
emangnya berapa?” tanya abi erwin. “Jumlah pastinya saya ga tau bi, tapi
itungan saya jumlahnya ga akan lebih dari uang itu, sisanya kalo ada ya buat
abi lah.” timpal saya menjawab pertanyaan abi erwin.
Lalu dibukanya amplop… kemudian dia terdiam sambil menatap
saya… “banyak amat? Bener ini buat abi..?”
katanya heran. “Jazakalloh khair”
lanjutnya.
Uang yang saya berikan sebenarnya tidak sepadan dengan ilmu
yang saya dapat cuma-cuma darinya dahulu.
Tapi tahukah, ketika menerima uang itu raut wajahnya berubah…
senyumnya melebar, seolah mendapatkan rizki yang besar dan jelas terlihat bahwa
ia membutuhkan uang itu.
Ya Allah, bagaimana bisa?
Bagaimana bisa setiap harinya ia berjualan buku, majalah, dan
herbal untuk menutupi kebutuhan keluarganya yang serba pas-pasan, sedang harta warisan
orangtuanya dia berikan begitu saja untuk bangun masjid?
Uang dalam amplop itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan
dengan harta yang dia keluarkan untuk masjid dan bangunan TPA…
Saat itu mengingatkan saya pada obrolan-obrolan kami dahulu dengannya. Sebelum pindah, kami hampir selalu
bertemu setiap maghrib, isya, dan subuh di masjid. Setiap sholat saya bersama
sahabat lainnya selalu berdiskusi, tanya jawab atau mendengarkannya berbicara
masalah dien termasuk menyimak setiap nasehatnya ihwal kehidupan dunia.
Hidup itu hanya sementara...
kenikmatannya pun hanya sebentar....
dahulu kita seorang anak kecil yang lugu hanya bermain-main, kini kita dewasa, dan hari esok kita sudah tua...kemudian kematian menjemput
selesailah perjalanan kehidupan kita,
tengoklah dahulu..
tengoklah saat-saat kecil kita, lalu berapa umur kita sekarang?
hitunglah, berapa tahun telah berlalu? dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu....
betapa cepatnya masa ini berlalu...
ketahuilah bahwa dua puluh tahun lagi, rambut kita sudah memutih, kulit kita keriput dan sebagian kerabat dan sahabat sudah mendahului dijemput...
kemana kita setelah kematian?
Hari ini, saya mendapat ibroh yang sangat besar… mendapat
pelajaran berharga tentang kehidupan. Hidup itu tidak melulu masalah uang, dan
kebahagiaan tidak selalu ada pada harta.
Manusia tidak
diciptakan untuk berlomba lomba mencari harta, padahal di sana ada kehidupan yang pasti dilewati.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya
Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
(Al Mulk 2)
Setelah selesai
sholat maghrib, saya segera pamit pulang meninggalkan Abi dan keluarganya yang begitu
sederhana namun terlihat bahagia…
Alhamdulillah perjalanan membayar hutang ternyata menjadi pelajaran menakjubkan… Semoga Allah memberikan barakah kepadanya…
ditulis pad November
2009,
dan baru diposkan saat ini
penulis,
Tidak ada komentar :
Posting Komentar