Tulisan ini saya buat sebagai pembelaan sy terhadap Menkeu terbaik di Asia, Sri Mulyani Indrawati. Sebuah pembelaan terhadap kritikan dan serangan membabi buta tak berimbang terhadap salah satu ”aset nasional” negeri ini sampai akhirnya “terpaksa" hengkang dan berhenti mengabdi di tanah air-nya sendiri.
Sebuah persepsi yang saya punya menanggapi serangan sporadis para politikus, media masa, ahli ekonomi, sampai LSM dan kalangan civitas akademisi (katanya)...yang saya tuangkan dalam sebuah tulisan singkat, bukan untuk “mengajari” karena sy bukanlah ekonom seperti Imam Sugema, Rizal Ramli, atau Ikhsanordin Noorsy yang begitu semangat membagi ”kecerdasannya” dalam mengoreksi setiap kebijakan Pemerintah….tp sebagai bentuk solidaritas terhadap integritas dan idealisme serta kejeniusan Sri Mulyani, dan tentu sebagai “mantan” anak buahnya di Kemenkeu.
Jawaban dari judul tulisan saya ini sebenarnya sudah dijawab berulang kali oleh Sri Mulyani, kalau dirinya bukanlah seorang NEOLIB.
Teriakan neolib begitu kencang disuarakan oleh lawan-lawan politik SBY mulai dari Pemilu lalu sampai dengan detik ini, siapa objeknya? tentu Sri Mulyani, Boediono, Mari Elka sampai Anggito Abimanyu.
(perlu diketahui, sy bukanlah fans dan kader SBY dan bukan juga orang yang menjatuhkan sikap politik saya kepadanya, malah mungkin sebaliknya sy memiliki pandangan yg berbeda dari 60% lebih konstituen dalam PEMILU lalu)
Pengamat-pengamat ekonomi bergelar “ekonom kerakyatan” (mesti tidak pernah memiliki konsep yang kongkret tentang model sistem ekonomi kerakyatan itu sendiri_red) tak hentinya menyerang wanita yang masuk jajaran perempuan paling berpengaruh di dunia ini.
“Mereka neolib, agen asing, jongos amerika, dan doyan ngutang……!!!”
Begitulah kira-kira komentar pedas untuk Sri Mulyani, sebut saja Kwik Kian Gie, Revrisond Baswir, bahkan Drajat Wibowo. Pun sampai dengan mencuatnya kasus bail out Bank Century, label neolib masih santer bahkan kian menguat tajam.
lalu benarkah beliau neolib? Makhluk apakah itu Neolib?.....Neolib kah memberikan bail-out?
saya akan coba menjawab,
Neolib adalah singkatan dari Neo Leberalisme atau Liberalisme “gaya baru”. Bukan Kwik yang pertama kali mempopulerkannya, tapi Prof. Amien Rais.
Lalu apakah Liberalisme itu?
Liberalisme adalah teori ekonomi yang diuraikan oleh tokoh-tokoh penemu ekonomi klasik seperti Adam Smith atau French Physiocrats. Sistem ekonomi klasik tersebut mempunyai kaitannya dengan "kebebasan (proses) alami" yang dipahami oleh sementara tokoh-tokoh ekonomi sebagai ekonomi liberal klasik. Meskipun demikian, Smith tidak pernah menggunakan penamaan paham tersebut, sedangkan konsep kebijakan dari ekonomi (globalisasi) liberal ialah sistem ekonomi bergerak kearah menuju pasar bebas dan sistem ekonomi berpaham perdagangan bebas dalam era globalisasi (Wanniski, Jude (1998). The Way the World Works. Regnery Gateway)
Selanjutnya dipahami bahwa inti dari paham ini adalah memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk berusaha dan bersaing, serta menolak campur tangan pemerintah. Urusan Pemerintah hanya sebagai “anjing penjaga” dalam sebuah negara, selanjutnya urusan ekonomi biarlah rakyatnya yang berusaha tanpa perlu diatur. Maka muncul istilah invisible hands yg diciptakan oleh Adam Smith.
Makna neolib pun kian meluas, neolib sering diartikan memberikan kebebasan persaingan semua lini dan sektor usaha suatu negara yang tentu untuk sebuah negara berkembang, pola persaingan bebas semacam ini akan mendatangkan banjir investor asing karena memiliki modal kuat, pengalaman, dan SDM yang jauh lebih unggul. So, tanpa pembatasan dari negara, perekonomian akan didominasi oleh kekuatan asing yang akan menguras kekayaan negara tersebut. Jadilah rakyatnya sebagai budak dan penonton di negeri sendiri…
Dari sini sebagian orang menarik kesimpulan, bahwa modal asing atau kebijakan yang berhubungan atau berdampak positif bagi modal asing dicap sebagai "neolib" atau “agen asing”.
Pandangan seperti ini tentu sah-sah saja, apalagi eksposisi logika yang digunakan sangat rasional dan ilmiah. Kita cukupkan pembahasan mengenai definisi neolib dan korelasinya dengan ungkapan “kekuatan asing” atau “agen asing” tersebut, karena sangat panjang jika harus menguraikan dan menguji apakah benar ekonomi pasar sebegitu menakutkan.
Lalu apa hubungannya dengan neolib yang didengung-dengungkan dengan bail-out Century?
Jawabnya……. Tidak Ada..
Malah justru sebaliknya, logika berfikir sangat aneh bagi mereka yang menyerang Sri Mulyani karena kebijakan stimulus namun di sisi lain memberikan cap “SMI NEOLIB”….
Ada beberapa hal yang mesti kita cermati,
1) Apakah benar Indonesia berada dalam sistem ekonomi pasar bebas/liberalis? statement ini sebenarnya masih diperdebatkan, sektor dan komposisi ekonomi Indonesia yang dapat dikuasai investor asing tak lebih dari 30%. Selain itu, masih kita saksikan dengan nyata begitu banyak BUMN dan regulasi protektif sektor usaha tertentu khususnya yang menyangkut hidup orang banyak maupun kebijakan protektif sektor UKM.
Cobalah bandingkan dengan China, negeri yang katanya menerapkan paham komunis itu sudah membuka lebar sektor usahanya atas kepemilikan asing lebih dari 80% dari porsi ekonominya, dan ingat pula bahwa kemajuan China tercapai karena mulai membuka diri dari politik isolasinya. Ini fakta yang kasat mata, China yang selama ini dikenal sebagai negara komunis ternyata sudah membuka lebar sektor perekonomiannya. Bagaimana dengan Indonesia yang tak lebih dari 30% lalu dikatakan neolib?
2) Pembuktian kebijakan SMI "beraliran neolib" tidak pernah bisa dibuktikan dengan data dan fakta objektif. Setidaknya seperti itulah ketika salah satu “pentolan penentang neolib”, Kwik Kian Gie, diminta bukti atas tuduhannya yang gencar pada Boediono dan Sri Mulyani,
............"Saya hanya bisa menduga, tapi tak bisa buktikan," katanya
sumber:http://www.detikfinance.com/read/2009/05/22/133531/1135556/4/kwik-kian-gie-tantang-boediono-debat-ekonomi
Begitulah seorang mantan Menteri Koordinator EKUIN bercuap-cuap menuduh sana sini tanpa bukti…….. tragis
3) Pernyataan Sri Mulyani seorang neolib karena kebijakan bail-outnya sebenarnya sangatlah lemah, dan justru seharusnya “cap neolib” dilabelkan kepada mereka yang selama ini menghujat.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa liberalisme menolak campur tangan pemerintah pada sektor ekonomi, lalu perhatikanlah..
Bukankah stimulus fiskal atau bail-out adalah bentuk campur tangan Pemerintah?
Bail-out pemerintah dengan menggelontorkan uang triliunan rupiah bukankah salah satu bentuk intervensi pemerintah?
Lalu mengapa intervensi dan campur tangan Pemerintah tersebut masih saja dikatakan neolib?
Aneh bukan? Padahal kita sepakat bahwa paham neolib akan selalu menolak intervensi pemerintah.
Justru kalau kita konsisten, orang-orang yang melakukan penolakan terhadap kebijakan stimulus fiskal Pemerintah haruslah kita curigai sebagai neolib, karena menolak campur tangan permerintah dalam perekonomian.
Terlepas dari kemungkinan adanya penyelewengan dana stimulus yang saya yakin bahwa tidak pernah terbesit dlm pikiran Sri Mulyani. Kebijakan bail-out ini menunjukan bagaimana Pemerintah masih turut serta dalam me-manage ekonomi negara, menjaga dan mengatur secara proporsional jalannya perekonomian bangsa. Pemerintah masih memiliki atensi yang tinggi dan tidaklah mungkin Pemerintah lepas tangan dalam sektor ekonomi… inilah mengapa para ahli berpendapat bahwa sistem ekonomi liberalis merupakan model ekonomi ideal saja, tidak ada Negara yang 100% menerapkan sistem ini. Negara adalah Negara, yang tentu akan turut menjaga kepentingan rakyatnya…. pun begitu dalam sektor ekonomi, meski intervensi itu hanya sedikit dilakukan.
Pertanyaan semacam ini pernah dilontarkan M. Chatib Basri kepada para ekonom yang mengaku antineolib saat dimintai keterangannya sebagai saksi ahli oleh Pansus Century beberapa waktu lalu. Dan hasilnya? tidak ada satupun dari “ekonom pengaku antineolib” yang turut diundang hadir mampu menjawabnya secara ilmiah dan rasional. Dr. Hendri Saparini yang disegani maupun Ikhsanudin Noorsy hanya menjawab jauh keluar dari topik pertanyaan….alias OOT.
Saya hanya memberikan pembelaan terhadap sosok Sri Mulyani dari hujatan dan label bahwa beliau adalah agen asing dan neolib tulen sebagaimana yang gencar dituduhkan akhir-akhir ini terlebih karena kepindahan beliau ke World Bank Groups. Untuk itu saya tidak membahas permasalahan penyelewengan dana bail-out, karena mungkin bukan di sini tempat pembahasannya. Dan Sri Mulyani pun sudah berulang kali mengatakan bahwa, “kebijakan bail-outnya sudah tepat, namun kalu ada penyelewengan dana dan tindakan melawan hukum dalam penyaluran dana tersebut, ya silahkan diproses”.
Sri Mulyani bukanlah nabi yang maksum, beliau sama seperti kita manusia. Kesalahan dan kehilafan tentulah dilakukan. Kesalahan pengambilan keputusan sangat mungkin terjadi apalagi jika keputusan yang di ambil harus cepat dan dilakukan dalam tekanan psikologis yang sangat berat. Begitu pula selanjutnya, justifikasi suatu kesalahan pengambilan keputusan tak semestinya dipaksakan kalau memang tidak memiliki bukti yang kuat dan hanya sebuah dugaan semata, malah mungkin saja keputusan yang telah diambil bukanlah suatu kesalahan, melainkan suatu langkah tepat yang memang harus diputuskan demikian.
”Karena nila setitik rusak susu sebelanga...”
Saya bukan pengagum ekonomi liberal, bukan juga penghujat ekonomi sosialis dan kerakyatan, karena tak ada ideologi maupun teori karya manusia yang sempurna. Saya juga bukan pembenci para ekonom kerakyatan. Justru sebaliknya, saya juga mengagumi pemikiran dan pandangan Dr. Hendri Saparini dan Dr. Drajat Wibowo. Namun, sangat disayangkan, serangan berupa celaan dan hujatan kepada Sri Mulyani justru menimbulkan pertanyaan akan intelektualitas mereka. Dimana kah sisi keilmiahan dan objektivitas mereka? jangan hanya karena partai dan golongan atau perbedaan cara pandang "mahzhab" ekonomi yang digunakan dalam pendekatannya lantas membuat kita menutup mata dan mengunci hati. Mungkin kita yang benar, tp mungkin juga kita yang salah......
Saya bukan pengagum ekonomi liberal, bukan juga penghujat ekonomi sosialis dan kerakyatan, karena tak ada ideologi maupun teori karya manusia yang sempurna. Saya juga bukan pembenci para ekonom kerakyatan. Justru sebaliknya, saya juga mengagumi pemikiran dan pandangan Dr. Hendri Saparini dan Dr. Drajat Wibowo. Namun, sangat disayangkan, serangan berupa celaan dan hujatan kepada Sri Mulyani justru menimbulkan pertanyaan akan intelektualitas mereka. Dimana kah sisi keilmiahan dan objektivitas mereka? jangan hanya karena partai dan golongan atau perbedaan cara pandang "mahzhab" ekonomi yang digunakan dalam pendekatannya lantas membuat kita menutup mata dan mengunci hati. Mungkin kita yang benar, tp mungkin juga kita yang salah......
Inilah sedikit tulisan saya, tempatkanlah sesuatu sesuai porsinya. Sri Mulyani bukanlah malaikat yang tak pernah salah, saya juga kurang setuju terhadap mereka yang terlalu mengagungkannya. Tentu banyak kesalahan pada dirinya, tapi lihatlah pula jerih payah dan kontribusinya bagi bangsa...
Adilkah beliau dimaki-maki dan dihujat seolah tak punya kebaikan sedikitpun setelah usahanya yang begitu besar untuk bangsa ini?
ingat, ... manusia adalah tempat lupa dan salah....
komen tapi belum baca ...
BalasHapusselamat atas blog barunya, Bapak Agni PhD ...
tar abis kerja saya cek2 ..
hmm...:angguk-anguk:
BalasHapusno comment. {loh..ini komen}
keren2...
BalasHapus