ilustrasi |
Kenikmatan dunia telah melalaikan
dan menyibukkan kita, memalingkan akhirat dan mengantinya dengan
dunia. Setidaknya inilah yang menimpa kaum muslimin
termasuk diri sy pribadi...
Sy teringat dengan sebuah nasehat dari seorang ustadz hafidzahullah,
"Banyak orang mengira bahwa kebahagiaan ada pada harta yang banyak, padahal jika ia benar tentu Qorun lebih bahagia...
Banyak orang mengira bahwa kebahagiaan ada pada jabatan yang tinggi, padahal jika ia benar tentu Fir'aun lebih bahagia...
Coba perhatikan di sekitar kita, berlomba-lomba manusia mencari dunia, kerja keras siang malam, dan belajar dengan giat di saat pagi dan petang, berharap menjadi orang yang cerdas yang punya IQ tinggi atau IPK yang membuat iri. Padahal Nabi bersabda:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ“Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR Tirmidzi)
Meski dipenuhi hiruk pikuk para pencari dunia, namun percayalah, duania ini tak pernah sepi dari orang-orang sholeh yang istiqomah.
Pada tulisan ini akan saya angkat sebuah kisah perjalanan seorang muslim yang istiqomah menjalani hidupnya di atas dien (insyaAlloh). Dy mungkin sangatlah jauh jika dibandingkan dengan ualama-ulama kibar....seperti halnya Mufti Agung Saudi, Syaikh Ibnu Baz, atau dengan Ahli Fiqh paling terkemuka di abad ini, Syaikh Utsaimin, atau seorang imam ahli hadits kenamaan, Syaikh Albani. tentu jauh sekali,angat lah jauh...
Karena urusan hati adalah urusan Alloh, penilaian kesholehan dan keistiqomahannya pun sebatas zhahirnya dalam artian apa yang saya lihat dan sy rasakan dalam interaksi bersamanya selama ini... sy tidak memastikan bahwa dy adalah seorang yang sholeh, tp dari zhahirnya... insyaAlloh.
Karena urusan hati adalah urusan Alloh, penilaian kesholehan dan keistiqomahannya pun sebatas zhahirnya dalam artian apa yang saya lihat dan sy rasakan dalam interaksi bersamanya selama ini... sy tidak memastikan bahwa dy adalah seorang yang sholeh, tp dari zhahirnya... insyaAlloh.
Membagi kisah ini hanya bertujuan memberikan nasehat kepada kita tentang makna sebuah kehidupan. Kisah seseorang yang boleh jadi berbeda dalam memaknai kehidupan dari umumnya manusia hari ini. Seorang yang mungkin tidak terlalu berazzam dengan dunia ini ternyata masih ada dan dapat kita temukan di sekitar kita.... di tempat yang kata mba Nike Ardila -semoga Allah merahmatinya- adalah panggung sandiwara..
Sy memanggilnya Abi Erwin...
Kenapa pake embel2 "abi"?
Jawabnya karena dy adalah guru ngaji sy di TPA dulu...sekitar 14 tahun lalu, sekitar tahun 2000.
Kenapa pake embel2 "abi"?
Jawabnya karena dy adalah guru ngaji sy di TPA dulu...sekitar 14 tahun lalu, sekitar tahun 2000.
Dahulu, saat TPA kami sempat hampir vakum setelah sekitar 6 tahun berdiri, Abi Erwin mengambil alih kepengurusan TPA yang selama ini dipegang oleh abi2 dan ummi2 yg masih kuliah. Maklum, mereka (abi2 dan ummi2_pen) adalah mahasiswa aktif di komunitas harokah yang kemudian berubah menjadi partai dakwah... super sibuk...
Kesibukan abi2 dan umi2 baik dalam menjalani kuliah maupun perjuangan harokahnya nyaris "menginpirasi" pengurus masjid menghentikan aktitvias TPA kami. Bagaimana tidak, aktivitas TPA yang diikuti puluhan santri tidak berjalan karena tidak ada pengajarnya. Santri yang sudah terlanjur datang dengan tanpa adanya pengajar hanya bermain2 membuat keributan di masjid. (termasuk saya biangnya....-__-^)
Atas keadaan yang demikianlah Abi Erwin yang juga pengurus masjid bersedia mengambilalih kepengurusan TPA sendirian. Akhirnya, tak bisa dihindari karena hanya dengan satu orang tenaga pengajar, TPA kami pun mulai banyak kehilangan santrinya...
Meski nasib santrinya di ujung tanduk, Abi Erwin tetap rajin mengajar dan malahan dy terlihat lebih bersemangat. Hal ini terlihat dengan penambahan materi "ngaji" kami di TPA dengan pembahasan seputar dienul islam yang lebih luas dan mendalam, misalnya dengan memperkenalkan tentang fiqih, bahasa arab, siroh, hafalan dll. Sesuatu yang agak asing ditelinga kami, karena sangat2 jarang didapat pada saat belajar dengan Abi2 dan Ummi2 dahulu.
Meski nasib santrinya di ujung tanduk, Abi Erwin tetap rajin mengajar dan malahan dy terlihat lebih bersemangat. Hal ini terlihat dengan penambahan materi "ngaji" kami di TPA dengan pembahasan seputar dienul islam yang lebih luas dan mendalam, misalnya dengan memperkenalkan tentang fiqih, bahasa arab, siroh, hafalan dll. Sesuatu yang agak asing ditelinga kami, karena sangat2 jarang didapat pada saat belajar dengan Abi2 dan Ummi2 dahulu.
Hafalan juz 30 mulai digiatkan, malahan untuk beberapa santrinya yg sudah agak besar seperti saya ini, Abi Erwin membuka "kelas tambahan" sehabis maghrib yaitu belajar bahasa arab ringan (bukan kelas dialog tapi bahasa arab untuk menerjemahkan Qur'an) dengan campuran bahasa inggris... dannnnnnnnn sampe sekarang hampir semua yang dipelajari .....sudah lupa (hehe...astaghfirulloh)
Back to the topic, kita bahas siapa Abi Erwin ini. Dy adalah anak dari keluarga terhormat di kampung kami (bc: kelurahan ya..bukan desa), orang tuanya memiliki tanah yang luas, dan dy adalah seorang anak yang cerdas, hal ini tercermin dari nilai UN/EBTANAS-nya yang tinggi.. nilai 100
Setelah lulus kuliah beliau mulai bekerja dengan berdagang menjual buku dan majalah islam alias jadi agen distributor majalah islami. Dy lah yang banyak mengajari kami ilmu tentang dien yang hanif ini. Dy juga tak ragu meminjamkan sebagian buku2 dan majalah2nya bahkan kaset2 ceramah kepada kami anak didik di TPA-nya.
Abi Erwin mungkin tw akan kapasitas fiskal anak2 TPA yang juga sebagian besar aktif di ROHIS. Maklum, beliau dulunya adalah aktivis ROHIS. Pada saat itu, nasib kehidupan anak-anak ROHIS agak tragis, meski berdompet tipis dan tak punya celana levis, anak ROHIS tetaplah selalu optimis... (hehe... ga nyambung)
Dengan berbekal pada argumentasi uang saku tak memadai dan sebuah hadits yang kira-kira berbunyi "tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai sauadranya seperti mencintai dirinya" serta melihat ghiroh kami yang cukup besar dalam mencari ilmu agama -mungkin, ini hanya tebakan saja-, Abi Erwin sering mengajak kami ke toko buku miliknya yang jaraknya dekat dengan masjid. Di sana kami seperti berada di perpustakaan umum, bebas baca sepuasnya...
Abi Erwin mungkin tw akan kapasitas fiskal anak2 TPA yang juga sebagian besar aktif di ROHIS. Maklum, beliau dulunya adalah aktivis ROHIS. Pada saat itu, nasib kehidupan anak-anak ROHIS agak tragis, meski berdompet tipis dan tak punya celana levis, anak ROHIS tetaplah selalu optimis... (hehe... ga nyambung)
Dengan berbekal pada argumentasi uang saku tak memadai dan sebuah hadits yang kira-kira berbunyi "tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai sauadranya seperti mencintai dirinya" serta melihat ghiroh kami yang cukup besar dalam mencari ilmu agama -mungkin, ini hanya tebakan saja-, Abi Erwin sering mengajak kami ke toko buku miliknya yang jaraknya dekat dengan masjid. Di sana kami seperti berada di perpustakaan umum, bebas baca sepuasnya...
"Sekarang saya menyadari, kenapa toko buku Abi Erwin ini terus merugi, karena sebagian bukunya bersedia ia pinjamkan, bahkan sy pernah mengumpulkan buku dan majalah hasil pinjaman tsb sampai satu keranjang/kardus, pun begitu dengand teman saya, Mugi namanya, malah lebih parah keranjangnya lebih besar dari yang sy punya, belum lagi yg ngutang...yah namanya dulu masih sekolah, klo nunggu nabung ya ga baca2 padahal ini adalah dien " (begitulah kira2 pembelaan kami ....^__^ ).
Dan lebih parahnya kebanyakan buku yang dikembalikan dalam keadan tidak bagus alias tidak komersil lagi sehingga Abi Erwin sering memberikan cuma2 atau menjual sangat murah buku yang kita kembalikan tersebut. Semoga Alloh membalas kebaikannya dengan balasan yang terbaik... amiin"
Hari2 berlalu, sy melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Sebagai konsekuensi "berkurangnya" umur, secara otomatis selesai juga "karir" sy di TPA (saat itu batasan selesai TPA jika kita memasuki jenjang SMA, karena sesuai dengan judulnya T-P-A Taman pendidikan Anak-Anak, diperuntukan untuk anak2). Tidak aktif di TPA bukan berarti kami kehilangan kontak dengan Abi Erwin, setiap ba'da sholat kami berdiskusi masalah dienul islam yang kadang dilanjutkan dengan membaca gratis di tokonya. Abi Erwin pun mengembalikan kepengurusan TPA kepada kakak2 (abi dan ummi) yang baru hasil regenerasi dan kaderisasi dari abi2 dan ummi2 dahulu yang kini sudah lulus kuliahnya atau menikah....(harap tidak latah ya, paragraf selanjutnya tidak membahas tentang nikah... mengertilah...)
Beberapa pekerjaan sempat dilakukannya sewaktu menjadi guru TPA sambil mengisi waktu2 kosong menjadi agen dan distributor majalah dan buku2 islam, misalnya membuka usaha pencucian motor di depan rumahnya. Sering sepulang sekolah saya melihat dy mencuci motor orang. Tanpa memikirkan bahwa keluarganya adalah orang terpandang, pekerjaan ini ia lakoni hanya sebentar saja karena dirasa telah "cukup" membawa kerugian. Miris karena saudara sekandungnya berjalan kesana kemari dengan mobilnya yang bagus sedang ia berdiam diri menjaga toko buku kecil miliknya sambil menunggu pengendara motor lewat yang bersedia dicuci motornya.
Meski mencuci motor orang, namun jika hampir tiba waktu sholat dy segera berangkat ke masjid dengan pakaian yang rapi dan harum.
Selain pekerjaan sebagai pencuci motor, pekerjaan lain yang dijalaninya adalah sebagai penjual susu kedelai. Hampir setiap hari Abi Erwin berkeliling ke warung2 untuk menitipkan susu kedelainya. Yang aneh, harga susu kedelai ini kadang berubah-ubah sampai2 pemilik warung yg dititipkan merasa kesal. Hari ini jual Rp2.000 minggu besok jual Rp3.000 minggu besoknya lagi jual Rp2.500. Usut punya usut, cek and ricek dan kabar kabari ternyata harga susu itu disesuaikan dengan dana yg di butuhkan untuk TPA. Jadi setiap hari anak orang kaya itu berkeliling ke warung-warung hanya untuk mencari dana buat kelangsungan TPA kami.
Selain pekerjaan sebagai pencuci motor, pekerjaan lain yang dijalaninya adalah sebagai penjual susu kedelai. Hampir setiap hari Abi Erwin berkeliling ke warung2 untuk menitipkan susu kedelainya. Yang aneh, harga susu kedelai ini kadang berubah-ubah sampai2 pemilik warung yg dititipkan merasa kesal. Hari ini jual Rp2.000 minggu besok jual Rp3.000 minggu besoknya lagi jual Rp2.500. Usut punya usut, cek and ricek dan kabar kabari ternyata harga susu itu disesuaikan dengan dana yg di butuhkan untuk TPA. Jadi setiap hari anak orang kaya itu berkeliling ke warung-warung hanya untuk mencari dana buat kelangsungan TPA kami.
TPA kami bukanlah TPA yang miskin yang berada dipelosok desa, TPA kami berada dipusat kota, masjidnya megah berlantai 4 dibangun oleh keluarga terkaya berdarah Lampung, Abu Rizal Bakrie. TPA kami pun berada di lingkungan orang2 yg cukup berpunya, ada pegawai bea cukai, BPKP, Pemda, dosen, pengusaha dll..
Tapi, kalo untuk urusan bayar uang bulanan TPA, entah mengapa orang2 itu yang bahkan sebagiannya adalah para pejabat seperti seolah berubah dari orang berpunya menjadi seperti korban banjir...
Kembali ke laptop, "bisnis" lain yang pernah ia geluti adalah menjual ayam kampung dan telurnya. Ada satu hal menarik dari bisnisnya ini. Apa itu? Abi Erwin tidak segan-segan menyatakan bahwa khasiat telur ayam kampung yang dy jual sama dengan telur ayam boiler termasuk kandungan gizi-nya. Padahal, secara logika pernyataannya itu bisa saja merugikan usahanya, namun itulah faktanya.
"Bi, apa bedanya ayam kampung dengan ayam boiler?" tanya sy. "Belum tw, sampe sekarang abi masih nyari2 perbedaannya. Tapi kalo' di beberapa artikel yang dibaca, khasiat dan kandungan gizi ayam kampung dengan ayam boiler itu sama aj, mungkin sudah mindset orang kali." begitu kira-kira jawaban abi Erwin dengan nada datar tanpa menghiraukan nasib dagangannya esok hari. Dan tahukah permirsa? bahwa jawaban ini sering diucapkannya ketika para pembeli telur-telurnya itu datang untuk membeli telur ayam kampungnya.
"Bi, apa bedanya ayam kampung dengan ayam boiler?" tanya sy. "Belum tw, sampe sekarang abi masih nyari2 perbedaannya. Tapi kalo' di beberapa artikel yang dibaca, khasiat dan kandungan gizi ayam kampung dengan ayam boiler itu sama aj, mungkin sudah mindset orang kali." begitu kira-kira jawaban abi Erwin dengan nada datar tanpa menghiraukan nasib dagangannya esok hari. Dan tahukah permirsa? bahwa jawaban ini sering diucapkannya ketika para pembeli telur-telurnya itu datang untuk membeli telur ayam kampungnya.
Bayangkan, anak seorang tuan tanah yang punya kedudukan dan status sosial tinggi di masyarakatnya serta berpendidikan tinggi, rela bersusah payah mencuci motor orang dengan upah tak lebih dari tiga ribu rupiah, berkeliling menjual susu kedelai untuk menitipkannya di warung-warung dan menjual telur ayam.
"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya".[Shahih ibnu Hibban]
Setelah saya lulus SMA dan melanjutkan pendidikan ke kota yang memusingkan bernama Jakarta, (padahal di Bintaro alias Tangerang,Banten) Abi Erwin menikah dengan seorang wanita yang sampe sekarang sy tidak pernah melihat wajahnya!!! tw kenapa? karena ....istrinya memakai cadar (hehe.....)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar